Rabu, 25 Januari 2012

JALAN CINTA PARA PEJUANG

Seperti Biasa, ketika bepergian tidak lupa satu atau dua buku masuk daftar untuk dibawa, sekedar menghilangkan kejenuhan di jalan atau pas lagi diklat. MAsa' pelajaran terus yang dipikir. Kali ini buku yang takgowo judule JALAN CINTA PARA PEJUANG.

+++++++++

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abud Darda’. ”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abud Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abud Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni. ”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abud Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara. ”Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abud Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

-------

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit, malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, marilah kita belajar kepada Sahabat Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah. Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan. Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis..

♥♥♥♥♥♥ ♥♥♥♥♥♥ ♥♥♥♥♥♥

Itulah Salah satu kisah yang ada dalam buku JALAN CINTA PARA PEJUANG karya Ustadz Salim A. Fillah. Kisah tentang generasi terbaik sebagai panutan yang Alloh Subhanahu wa Ta'ala pun memuji mereka Rodhiyallohu Anhum dan Rosululloh Shollahohu 'Alaihi Wasallam pun memuji dan melarang kita untuk mencaci mereka.

Kisah dua sahabat Radhiyallohu Anhuma, yang dapat kita mabil hikmah dan pelajaran. Mungkin dari kita banyak dan mudah menjadi bahkan mengikuti JALAN PARA PEJUANG CINTA akan tetapi mengikuti langkah mereka, langkah yang disebut dengan JALAN CINTA PARA PEJUANG tidak mudah dan mungkin sedikit dari kita yang dapat mengikutinya.

Itulah JALAN CINTA PARA PEJUANG, jalan Cinta yang dipilih oleh orang2 terdahulu Para Sahabat, Tabi’in, Itba’ Tabi’in dan orang2 yang mengikuti mereka hingga akhir zaman. Jalan Cinta Para Pejuang yang selalu Berprasangka Baik Kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, Jalan yang penuh Rasa Keikhlasan.

Di Jalan inilah bagimana Imam Al-Muhadditsin ( Pemimpin Para Ahli Hadits ) Imam Ahmad Ibn Hanbal Rahimahulloh harus dipenjara karena keyakinan yang beliau pegang, Jalan Ini juga yang diambil Imamuna Sang Nashir As-Sunnah ( Penolong Sunnah ) Imam Muhammad Ibn Idris yang dikenal dengan Imam Syafi’I, Rahimahulloh harus hijrah dari Iraq ke Mesir karena tekad dan keikhlasan untuk mengembangkan Islam dari rongrongan penentang di Irak.

Dan Jalan Itu juga yang mungkin diambil oleh kedua orang tua kita, membesarkan kita, mendidik kita agar jadi anak yang sholih – sholihah, berguna dan bermanfaat, serta menjadi asset mereka ketika mereka telah dahulu meninggalkan kita. Dari buku ini banyak nilai2 perjuangan yang dapat diambil hikmahnya, dari cerita2 yang disajikan.Sebuah buku yang menarik untuk dibaca, penuh ibroh dan pelajaran yang dapat diambil untuk ke depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar